LAZ Al Azhar kembali menggelar Kajian Ekonomi Islam, kemarin di Kampus Universitas Al Azhar Indonesia.
Kajian yang diadakan rutin sebulan sekali ini diisi oleh Direktur Eksekutif LAZ Al Azhar, Bpk Sigit Iko Sugonda dan Dr.rer.nat Jaenal Effendi MA.
Mengangkat tema “Gharar Dalam Transaksi Ekonomi” kali ini banyak menyinggung kebiasaan dalam jual beli di masyarakat yang sebenarnya tidak sesuai dengan syariah islam namun dianggap wajar dan terus didiamkan.
Di antaranya, kita biasa melihat tulisan yang terdapat pada brosur atau di sebuah toko seperti ‘harga dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan, pecah berarti membeli’ yang sebenarnya sangat tidak sesuai dengan syariah islam.
“Misalnya ada tulisan yang berbunyi ‘barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan’. Ini salah satu yang paling sering kita jumpai. Padahal Islam sudah mengatur bahwa dalam proses jual beli, pembatalan sah saja dilakukan, yang disebut dengan khiyar. Khiyar artinya hak penjual dan pembeli untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya dalam waktu tertentu atau karena sebab tertentu,” kata sigit.
Dalam Islam, jual beli adalah pertukaran harta atas dasar saling rela, atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yaitu berupa alat tukar yang sah.
Transaksi jual beli yang diperbolehkan juga harus memenuhi rukun dan syaratnya, yakni terdapat penjual dan pembeli, benda yang dijual, alat tukar yang sah (uang) dan ijab kabul.
Dan salah satu jual beli yang dilarang ialah yang tidak jelas barangnya baik ukuran, bentuk, sifat dan bentuknya oleh penjual dan pembeli atau disebut dengan gharar seperti yang dilakukan oleh beberapa lembaga zakat dalam menjual hewan qurban.
“Mengelola amanah qurban dengan mengelola amanah zakat sangat jauh berbeda. Di dalam ibadah qurban ada transaksi jual beli. Dalam mengelola zakat, infak dan sedekah tidak ada proses jual belinya. Dan di dalam qurban sangat jauh berbeda, ada sisi fiqih nya dan ada sisi muamalah nya yang harus diperhatikan,” kata Sigit.
“Jangan sampai lembaga zakat kalah transparan dengan tukang kambing di pinggir jalan. Seharusnya lembaga zakat mampu menjadi pioneer dalam menegakan akad jual beli yang sesuai syariah, bukan justru melabraknya. Kalo di pinggir jalan kan jelas hewannya, sehat atau cacat, jelas fisiknya. Tapi justru masih ada lembaga zakat yang tidak bisa menjelaskan seperti apa hewan qurban yang ia tawarkan, baik itu fisiknya, beratnya, hewannya sedang berada dimana, dan ini bisa mengarah ke gharar,” ujar Sigit.
Untuk itu, lanjut Sigit LAZ Al Azhar mengusung Program Qurban Home Delivery (QHD) yang bisa mengantarkan hewan qurban ke rumah, dan jelas hewannya dari segi fisik dan bobot.